WAKTU
Oleh : Rahma Ajining Ratri
“Dia
menjadi dimensi yang melahirkan dan menguburkan. Dia menjadi saksi yang terang
antara pertemuan dan perpisahan. Tetapi, dia akan sangat lapang dengan air mata
dan ketulusan. Dan ku sebut dia adalah WAKTU”
Namaku Laila. Aku terlahir dari
keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Setelah kepergian kedua orang tuaku,
aku hanya memiliki satu orang kakak perempuan namanya Lela. Tapi aku juga
kurang mengerti, memiliki seorang kakak adalah anugrah atau bencana bagi ku.
Karena setiap muka ini berpasasan dengan dia, bukan hal yang asing lagi untuk
ku, jika selalu diikuti oleh percecokan mulut yang ku rasa tiada berujung.
Pikiran ku rancu dan batinku seperti terpenjara, karena harus menghabiskan
tenaga untuk bertengkar dengan dia. Dia selalu sibuk dengan dunia kerjanya,
sampai- sampai tak ada waktu luang untuk ku bisa tertawa lepas dengan dia
seperti dulu ketika ayah dan ibu belum kembali pada sang Waktu. Dan akhirnya
tanpa sepengetahuan kak Lela aku kabur dari rumah tepat di malam ulang tahunnya
. Ku putuskan untuk bermalam di salah
satu rumah teman ku, namanya Lisa. Dengan menaiki bus kota aku menuju rumah
Lisa.
“Bangun mbak sudah sampai”, kata seorang kondektur bus.
Mata ku terasa seperti ditempel
permen karet, sulit untuk ku buka. Kantuk di malam itu membuat laku langkah ku tertatih menuju rumah
Lisa.
"Assalamualaikum, Lisa ini aku
Laila!”, sembari aku mengetuk pintu rumah Lisa. Setelah menunggu sekitar dua menit gagang pintu rumah Lisa
bergerak, dan keluarlah dia sambil membawa guling berwarna ungu. “Oh ternyata
kamu. Kamu bertengkar lagi dengan kakak
mu?”, tanya Lisa dengan mengerutkan dahinya. Aku hanya mengangguk. “Hem..sudah
ku duga, kamu ini kalau ada masalah dengan kakak mu terasa rumah ku seperti
tempat penampungan anak.”, kata Lisa. “Lisa jadi kamu gak suka aku sementara
tinggal disini?”, sahut ku. “Hei..aku bercanda. Jangan dibuat serius. Ya sudah
sepertinya malam ini mau turun hujan, masuk yuk”, ajak Lisa seraya menggandeng
tangan ku. Malam ini pun kelopak mata ku enggan menutup kedua buah matanya yang
semakin menciut. Udara dingin yang dibawa oleh sang hujan membuat tubuhku
terasa kaku membeku. Ku lihat jam dinding menunjukan angka 02:34 WIB, aku
teringat dengan kakak ku. Apakah aku seorang adik yang jahat, kabur dari rumah
tepat di malam ulang tahun kakaknya. Aku tengok
Lisa dan ternyata dia sudah terlelap dalam dunia mimpinya.
“Wow..makan pagi nya sudah siap.
Kamu bangun pukul berapa La?”, tanya Lisa yang baru bangun dari tidurnya.
“Semalam, aku tak bisa tidur. Aku teringat dengan kakak ku. Menurut mu apa aku
ini adik yang sangat keterlaluan ya?”, tanya ku.
“Menurut ku...menurutku..”,
Kata Lisa dengan terbata-bata.
“Iya? Bicara saja aku gak akan marah kok.”,
sahut ku.
“Menurutku..aku tidak tahu. Hahaha ya sudahlah ayo kita makan. Aku
sudah laper banget nih dari kemarin aku
belum makan.”, jawab Lisa.
“Ihh..kamu ini. Aku serius tau.” Jawab ku seraya
memanyunkan bibirku.
“Laila itu ada telepon dari kakak
mu. Angkatlah dia pasti khawatir akan tentang mu.”, ucap Lisa. “Baiklah...mungkin
dia ingin meminta maaf pada ku. Sebentar ku tinggal dulu ya.”, jawab ku.
Aku menuju depan rumah Lisa untuk
mengangkat telepon dari kakak ku.
“Halo..Laila. Apa kamu baik-baik saja? Aku
yakin kamu pasti di rumah Lisa ya kan ? Maaf kan kakak, mungkin kakak bukan
kakak yang terbaik bagi kamu. Tapi
sungguh, hanya kamu lah harta berharga kakak sekarang. Hanya Laila yang kakak
punya saat ini. Kakak tidak ingin kehilangan kamu. Kakak mohon kembalilah ke
rumah. Kakak merindukan kamu sayang..”, kata kakak ku dengan suara yang terkepung
dengan air mata kerinduan, namun dia mencoba menahannya.
“Jika aku adalah harta
berharga kakak, kenapa waktu kakak hanya tersita dengan pekerjaan. Yang ada
dipikiran kakak adalah kerja dan uang, bukan aku! Apakah jika aku pulang nanti
dapat mengembalikan waktu kita yang hilang karena pekerjaan kakak? Gak kan?”,
jawab ku dengan nada yang tinggi.
“Laila..kakak mohon kembalilah sayang. Kakak minta maaf. Kakak kerja mencari
uang juga untuk Laila.”, ucap kakak ku dan seketika air matanya pun pecah
dengan suara yang gemetaran. “Hah..sudahlah kak. Muak aku mendengar semua
omongan kakak!”, jawab ku.
Kata dari mulut ku itu mengakhiri perbincangan aku
dengan kakak ku.
Kaki kecil ini mengajak aku menuju
kamar Lisa, mulut ku berbisik jika ia sudah tak nafsu makan.
“La..kamu mau kemana ? Mari sarapan,
kamu juga butuh nutrisi.”, kata Lisa.
“Nanti saja Sa. Aku mau ke kamar dulu.”,
jawab ku.
“Dear
Diary..
Waktu..
dimana kau sembunyi? Dimana kau yang sudah menikam seluruh rasa suka ku? Waktu..
kembalikan kisah damai ku seperti dulu. Kisah ku yang diselimuti kehangatan oleh
peluk cium ayah- Ibu ku. Waktu adalah permainan. Kau tarik dan ulur hati ku
hingga ia mati mengartikan makna ketulusan. Sudahlah, aku lelah dengan segala
permainan mu. “
Tak terasa sudah lima hari aku
berada di rumah Lisa. Dan ku putuskan hari ini aku kembali ke rumah. Emosi yang membbakar hatiku perlahan larut akan bisikan lembut Lisa yang menyuruhku
untuk kembali ke rumah.
“Laila. Akhirnya kamu pulang sayang.
Kakak rindu kamu. Maaf kan kakak sayang.”, kata kak Lela. Dia memeluk ku dengan
sangat erat.
“Aku juga minta maaf kak, atas sikap ku yang keterlaluan.”, kata
ku dengan menahan air mata penyesalan.
“Iya sayang. Oh iya malam ini kakak mau
ngajak kamu dinner di kafe seperti biasa. Kamu bisa kan? ”, tanya kak
Lela.
“O.K kak.”, jawab ku.
“Baik sayang. Usai kakak kerja kakak
akan menjemput Laila.”, kata kak Lela.
Malam pun datang bersama bulan sabit
yang bersinar terang. Tapi waktu sudah menunjukan pukul 20:00 WIB, kak Lela
juga belum datang. Dia berjanji padaku pukul 19:30 WIB dia akan menjemputku di
rumah untuk makan malam merayakan kepulanganku. Beberapa kali jari tangan ini
mengetik pesan singkat untuk kak Lela tapi tidak ada balasan satu pun. Nomornya
tak bisa aku hubungi. Aku semakin kesal. Apa ini lelucon? Aku sangat benci
menunggu. Jarum jam terus bergerak, ketika ia menunjukkan pukul 20:30 WIB kak
Lela menelepon ku.
“Laila sayang maaf kakak baru bisa menghubungi mu. Malam ini
Kak Lela ada rapat mendadak masalah proyek yang baru kakak jalankan. Kamu
jangan kesal ya sama kakak. Jangan khawatir makan malamnya jadi kok. Sekarang
kakak akan menjemput Laila.”, kata kak Lela.
“ Aku kecewa dengan kak Lela. Aku
kira dengan kembalinya aku ke rumah, bakal bisa mengembalikan waktu kita.
Jangan hubungin aku lagi kak. Aku capek harus cecok dengan kakak karena masalah
yang sama.”. sahut ku seketika menutup telepon dengan kakak.
Waktu menunjukan pukul 20:45 WIB
tapi kak Lela juga belum datang. Aku menjadi risau. Jangan-jangan sesuatu
terjadi dengan kak Lela. Ah..sudahlah ku mencoba menepis segala kemungkinan
buruk yang berkecamuk di dalam hatiku. Tiba-tiba handphone ku berdering, dan
ternyata kak Lusi yang menelpon ku. Kak Lusi adalah partner kerja kakak ku.
“Laila ini kamu? Cepat kamu ke rumah
sakit sekarang. Kakak mu sedang kritis saat ini.”, kata Lusi.
Aku terkejut
mendengarnya, mulutku terasa terkunci rapat hingga tak mampu mengeluarkan
sepatah kata pun. Aku langsung menuju rumah sakit dengan mengendarai motor ku.
“Kak Lusi, apa yang terjadi dengan
Kakak? Apa kakak mengalami kecelakaan? ”, kata ku dengan nafas yang tak
beraturan.
“Masuklah Laila. Kau akan tahu nanti.”, jawab Kak Lusi.
Aku
semakin penasaran, jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi pada kak Lela. Jujur
meski pun aku sering marah kepada dia, tapi aku sangat sayang pada kak Lela. Aku gak mau kehilangan dia. Karena
dia lah satu-satunya keluarga yang aku punya. Ketika aku membuka pintu, semakin
terkejutlah aku. Karena di dalam kamar tak ku temui kak Lela. Hanya ada kasur
yang tertata rapi. Aku mencoba keluar dan ingin menanyakan kepada kak Lusi apa
maksud dari semua ini. Apakah ini lelucon? Ketika aku hendak keluar tiba-tiba
lampu kamar rumah sakit tersebut padam. Gendang telingaku tiba-tiba
dikejutkan dengan nyanyian
“Happy
birthday to You... Happy birthday to You.. Happy birthday to You.. ”.
Suara itu
tak asing di telingaku dan ternyata itu adalah suara nyanyian kak Lela.
“Selamat ulang tahun Laila. Maaf kakak
memberi kan mu kejutan dengan cara seperti ini. Karena kakak pikir dengan cara
seperti ini kamu bisa datang menemui kakak.”, kata kakak ku. Tiba-tiba kaki ku
terasa geli seperti ada kucing yang mengelus-elus kaki ku. Brukkkk.....aku
jatuh dari sofa dan ternyata itu hanyalah mimpi. Aku ketiduran menuggu kak Lela
pulang dari kantornya.
“Apa jadi itu semua hanya mimpi?”, kata ku dalam hati.